
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Maknanya agar bisa mengingatkan tentang panas api neraka Jahannam:
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,
“Dari panas atau bagian neraka Jahannam, maknanya nyala/lidah api dan radiasi panasnya. Ulama berselisih mengenai penisbatan dengan neraka jahannam. Ada yang berpendapat bahwa ini penisbatan secara hakikat, sehingga jilatan api adalah memang bagian dari Jahannam. Allah telah menakdirkan munculnya dengan sebab-sebab agar hamba-Nya bisa mengambil pejaran (ketika terkena demam, pent). Sebagaimana kenikmatan dan kebahagiaan dari kenikmatan surga, Allah tampakkan di dunia agar menjadi pelajaran (contoh) dan petunjuk.
Pendapat yang lain menyatakan bahwa penisbatan (dengan Jahannam) semacam penyerupaan saja. Yaitu panas demam menyerupai panas Jahannam agar menjadi peringatan bagi jiwa-jiwa akan panasnya neraka Jahannam.”[2]
Tentu saja bisa menjadi peringatan bagi kita, bahwa panas dan api dunia yang kita ketahui hanyalah 1 dari 70 bagian dari panas neraka Jahannam,
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Api kalian ini yang dinyalakan oleh anak cucu Adam hanyalah 1 bagian dari 70 bagian dari panasnya api Jahannam. Mereka berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, api di dunia ini saja sungguh sudah cukup (untuk menyiksa).” Maka beliau bersabda, “Maka sesungguhnya api jahannam dilebihkan 69 kali lipat panasnya, dan setiap bagiannya (dari 69 ini) mempunyai panas yang sama seperti api di dunia.”[3]
Hampir setiap manusia pernah terkena demam:
Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
“demam adalah bagian jatah seorang mukmin dari neraka”[4]
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terkena demam dengan panas dua kali lipat manusia.
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata:
“Aku pernah mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang sakit. Kemudian Aku letakkan tanganku di atas selimut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku dapati panasnya (sangat panas karena yang disentuh adalah selimutnya, bukan badannya, pent).
Aku berkata, “wahai Rasulullah, betapa beratnya demam ini!”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya kami para nabi, diberi ujian yang sangat berat, sehingga pahala kami dilipat gandakan.”
Abu Said pun bertanya, ‘wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab;
“Para nabi, kemudian orang shaleh. Sungguh ada diantara mereka yang diuji dengan kemiskinan, sehingga harta yang dimiliki tinggal baju yang dia gunakan. Sungguh para nabi dan orang shaleh itu, lebih bangga dengan ujian yang dideritanya, melebihi kegembiraan kalian ketika mendapat rezeki.”[5]
Bahakan para sahabat juga terkena demam.
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah berkata:
“Para Sahabat terkena demam ketika sampai di Madinah. Maka Abu Bakar dan Bilal terkena demam. Kemudian ‘Aisyah menemui mereka kemudian berkata,
“wahai ayah bagaimana keadaannmu? Wahai Bilal bagaimana keadaanmu?”
Abu Bakar ketika tertimpa demam beliau berkata,
“Setiap orang bersama keluarganya padahal kematian lebih dekat daripada tali sandalnya.”[6]
Larangan mencela demam:
Sebagian orang yang tidak sabar, ketika ditimpa musibah atau sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya maka ia mengeluh bahkan mencela. Seseorang yang sakit mungkin awalnya ia akan mengeluh, akan tetapi lama-lama ia akan mencela dan memaki. Apalagi jika sakit tersebut disertai dengan demam yang tinggi dan sulit hilang, atau hilang-muncul.
Terdapat larangan dalam syariat agar kita tidak mencela demam. dari Jabir radiyallahu ‘anhu:
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk Ummu as-Saib (atau Ummu al-Musayyib), kemudian beliau bertanya, ‘Apa yang terjadi denganmu wahai Ummu al-Sa’ib (atau wahai Ummu al-Musayyib), kenapa kamu bergetar?’ Dia menjawab, ‘Sakit demam yang tidak ada keberkahan Allah padanya.’ Maka beliau bersabda, ‘Janganlah kamu mencela demam, karena ia menghilangkan dosa anak Adam, sebagaimana alat pemanas besi mampu menghilangkan karat’.“[7]
Demikianlah secara umum sakit bisa menggugurkan dosa seseorang asalkan dia bersabar Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
“Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan hapuskan kesalahannya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya”[8]
Dan beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau sesuatu hal yang lebih
berat dari itu melainkan diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya
karenanya.”[9]
bahkan bisa jadi ia tidak mempunyai dosa sama sekali, menjadi suci sebagaimana anak yang baru lahir ketika sembuh atau ketika meninggal karena penyakit tersebut.
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
“Cobaan akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya maupun pada hartanya, sehingga ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun.”[10]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam
@Kampus FK UGM
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
[muslimafiyah]
إن الحمى من فيح جهنم
”Sesungguhnya penyakit demam (panas) adalah berasal dari panas neraka jahanam.” [1]Maknanya agar bisa mengingatkan tentang panas api neraka Jahannam:
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,
“Dari panas atau bagian neraka Jahannam, maknanya nyala/lidah api dan radiasi panasnya. Ulama berselisih mengenai penisbatan dengan neraka jahannam. Ada yang berpendapat bahwa ini penisbatan secara hakikat, sehingga jilatan api adalah memang bagian dari Jahannam. Allah telah menakdirkan munculnya dengan sebab-sebab agar hamba-Nya bisa mengambil pejaran (ketika terkena demam, pent). Sebagaimana kenikmatan dan kebahagiaan dari kenikmatan surga, Allah tampakkan di dunia agar menjadi pelajaran (contoh) dan petunjuk.
Pendapat yang lain menyatakan bahwa penisbatan (dengan Jahannam) semacam penyerupaan saja. Yaitu panas demam menyerupai panas Jahannam agar menjadi peringatan bagi jiwa-jiwa akan panasnya neraka Jahannam.”[2]
Tentu saja bisa menjadi peringatan bagi kita, bahwa panas dan api dunia yang kita ketahui hanyalah 1 dari 70 bagian dari panas neraka Jahannam,
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Api kalian ini yang dinyalakan oleh anak cucu Adam hanyalah 1 bagian dari 70 bagian dari panasnya api Jahannam. Mereka berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, api di dunia ini saja sungguh sudah cukup (untuk menyiksa).” Maka beliau bersabda, “Maka sesungguhnya api jahannam dilebihkan 69 kali lipat panasnya, dan setiap bagiannya (dari 69 ini) mempunyai panas yang sama seperti api di dunia.”[3]
Hampir setiap manusia pernah terkena demam:
Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
“demam adalah bagian jatah seorang mukmin dari neraka”[4]
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terkena demam dengan panas dua kali lipat manusia.
Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata:
“Aku pernah mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang sakit. Kemudian Aku letakkan tanganku di atas selimut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku dapati panasnya (sangat panas karena yang disentuh adalah selimutnya, bukan badannya, pent).
Aku berkata, “wahai Rasulullah, betapa beratnya demam ini!”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya kami para nabi, diberi ujian yang sangat berat, sehingga pahala kami dilipat gandakan.”
Abu Said pun bertanya, ‘wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab;
“Para nabi, kemudian orang shaleh. Sungguh ada diantara mereka yang diuji dengan kemiskinan, sehingga harta yang dimiliki tinggal baju yang dia gunakan. Sungguh para nabi dan orang shaleh itu, lebih bangga dengan ujian yang dideritanya, melebihi kegembiraan kalian ketika mendapat rezeki.”[5]
Bahakan para sahabat juga terkena demam.
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullah berkata:
“Para Sahabat terkena demam ketika sampai di Madinah. Maka Abu Bakar dan Bilal terkena demam. Kemudian ‘Aisyah menemui mereka kemudian berkata,
“wahai ayah bagaimana keadaannmu? Wahai Bilal bagaimana keadaanmu?”
Abu Bakar ketika tertimpa demam beliau berkata,
“Setiap orang bersama keluarganya padahal kematian lebih dekat daripada tali sandalnya.”[6]
Larangan mencela demam:
Sebagian orang yang tidak sabar, ketika ditimpa musibah atau sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya maka ia mengeluh bahkan mencela. Seseorang yang sakit mungkin awalnya ia akan mengeluh, akan tetapi lama-lama ia akan mencela dan memaki. Apalagi jika sakit tersebut disertai dengan demam yang tinggi dan sulit hilang, atau hilang-muncul.
Terdapat larangan dalam syariat agar kita tidak mencela demam. dari Jabir radiyallahu ‘anhu:
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk Ummu as-Saib (atau Ummu al-Musayyib), kemudian beliau bertanya, ‘Apa yang terjadi denganmu wahai Ummu al-Sa’ib (atau wahai Ummu al-Musayyib), kenapa kamu bergetar?’ Dia menjawab, ‘Sakit demam yang tidak ada keberkahan Allah padanya.’ Maka beliau bersabda, ‘Janganlah kamu mencela demam, karena ia menghilangkan dosa anak Adam, sebagaimana alat pemanas besi mampu menghilangkan karat’.“[7]
Demikianlah secara umum sakit bisa menggugurkan dosa seseorang asalkan dia bersabar Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
“Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan hapuskan kesalahannya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya”[8]
Dan beliau shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
bahkan bisa jadi ia tidak mempunyai dosa sama sekali, menjadi suci sebagaimana anak yang baru lahir ketika sembuh atau ketika meninggal karena penyakit tersebut.
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
“Cobaan akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya maupun pada hartanya, sehingga ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun.”[10]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam
@Kampus FK UGM
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
[muslimafiyah]
[1] HR. Imam al-Bukhari rahimahullah
[2] Fathul Barii libni Hajar Al-Asqalani
[3] HR. Al-Bukhari no. 3265 dan Muslim no. 2843
[4] Dari Munad Ibnu Syihab dan dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
[5] HR. al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubro (3/372) dishahihkan al-Albani
[7] HR. Muslim 4/1993, no. 2575
[8] HR. Al-Bukhari no. 5661 dan Muslim no. 651
[9] HR. Muslim no. 2572
[10]
HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan lainnya, dan dinyatakan hasan shahih oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/565 no. 2399
Post a Comment
Silahkan berkomentar..:)