Pria itu sangat miskin. Kemiskinan
membuatnya nekat mencari nafkah dengan mencuri kain kafan. Hari itu ia
mengincar sebuah makam ulama yang belum lama dikubur. Ia berharap kafan yang dipakai membungkus jasad sang ulama adalah kain kafan terbaik, rangkap tiga.
Di tengah kesunyian malam, pria itu
membongkar makam tersebut. Dan ternyata benar. Kain kafan sang ulama
berlapis-lapis. Lapis pertama berhasil ditariknya. Lapis kedua juga
berhasil ditariknya. Namun saat menarik kafan lapis ketiga, ia merasakan
berat yang sangat. Rupanya tangan ulama itu menggenggam erat kafan
tersebut.
“Saat kau ambil kafan pertamaku, aku membiarkannya” suara ulama itu mengagetkannya. Baru kali ini
sepanjang pengalamannya mencuri kain kafan, jenazah dapat berbicara.
“Saat kau tarik kafan keduaku, aku juga membiarkannya. Tetapi aku tidak
mau menghadap Allah dengan telanjang. Karenanya aku tahan kafan ketigaku
ini”
Entah perasaan apa yang berkecamuk dalam
jiwa pria pencuri kafan itu. Yang pasti ia sangat terkejut. Ia juga
takut. Untungnya, ia mendengar kalimat berikutnya dari sang ulama. “Aku
merelakan dua lapis kain kafanku itu untukmu, dengan syarat kau
memintakan maaf kepada si Fulan. Mau?”
“Iya, syaikh. Mau,” jawab pria itu, “tapi mengapa syaikh meminta maaf pada si Fulan? Syaikh kan ulama sementara dia orang awam.”
“Dulu aku pernah diundang ke rumahnya
untuk syukuran dan mendoakannya. Aku disuguhi makanan dengan lauk
daging. Ketika acara selesai dan hendak pulang, aku mengambil sebuah
ranting kecil dari pohon miliknya di depan rumah. Aku memakainya sebagai
tusuk gigi. Hanya itu
saja dan aku langsung membuangnya. Tusuk gigi itulah yang kini
membuatku tidak merasakan nikmat di alam barzah meskipun aku banyak
ibadah. Kamu tahu, sekarang gigi yang dulu kubersihkan dengan ranting
kecil itu sekarang berubah menjadi bara api,” kata sang ulama sambil menunjukkan giginya.
“Mintakan kepada si Fulan agar ia menghalalkan ranting tusuk gigi itu, sampaikan permintaan maafku kepadanya.”
Demikian kisah
israiliyat yang disampaikan Ustadz Rafiul Fata di pengajian Riyadhus
Shalihin Masjid Islamic Center Gresik, Kamis (5/6/2014). Kisah ini juga
diceritakan Emha Ainun Najib dalam bukunya Slilit Sang Kiai.
Saudariku, lepas dari benar tidaknya
kisah di atas, ada pelajaran berharga bagi kita. Peringatannya sungguh
mengena. Bahwa barang apapun yang tidak halal bagi kita, ia akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa apapun
milik orang lain yang kita ambil tanpa hak, ia bisa menjadi penyebab
siksa; di alam barzah, bahkan di akhirat dan menyeret kita masuk neraka.
Jika sebatang ranting kecil sebesar tusuk gigi bisa membuat gigi berubah jadi bara api,
bayangkan jika yang kita ambil tanpa hak itu senilai sebatang pohon.
Bayangkan jika kita atau suami kita mengambil barang haram senilai
sebuah rumah.
Iya kalau kita mengambil barang tanpa
hak hanya dari satu orang dan ditakdirkan Allah bisa meminta maaf
melalui perantara orang lain sewaktu kita di alam barzah seperti kisah
tadi. Karena syarat taubat dari dosa terhadap sesama (hablum minannas)
salah satunya adalah meminta halal/keikhlasan orang yang kita sakiti
atau haknya kita zalimi. Sedangkan kita hampir tak mungkin hidup lagi
setelah dimakamkan di perut bumi. Lebih berat lagi jika yang kita ambil
adalah harta milik orang banyak; korupsi.
Maka marilah kita ingat kembali, untuk
selalu menjaga diri. Agar kita tak mengambil hak orang lain. Agar kita
tidak pernah melakukan praktik korupsi. Kita ingatkan pula suami kita
agar tidak mengambil hak orang lain. Kita ingatkan suami kita agar tidak
terlibat korupsi. Jika satu tusuk gigi bisa membuat gigi menjadi bara
api? Bagaimana dengan korupsi? Ngeri! Na’udzu billah min dzalik.
[Muslimah]
Post a Comment
Silahkan berkomentar..:)