Sepucuk Surat Untuk Temanku

|| || || Leave a comments

Syukur dan tahmid terbingkai indah dalam sanjungan hamba untuk Dzat Yang Maha Pemurah. Dia-lah, dengan taufik dan hikmahnya, yang memilihkan derajat tinggi untuk hamba atau hina berkepanjangan.
Shalawat serta salam terangkai elok dalam doa hamba kepada baginda agung, Muhammad bin Abdillah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau lah, dengan penuh kasih sayang, yang telah mengarahkan jalan-jalan mudah menuju keabadian surga.

Kawan…
Lama sudah rasanya kita tidak berjumpa. Ada rindu yang mengejar sebenarnya, jika sekian waktu berpisah. Sebab, engkau adalah kawan dekatku. Karena, kita pernah berjalan dan hidup bersahabat.

Namun, itu dahulu kala…
Saat kita masih disatukan oleh majlis ilmu. Saat semangatku dan semangatmu dalam thalabul ‘ilmi bagai banjir bandang tak terbendung. Ya, momen-momen indah kita dalam suka duka belajar agama.

Kawan…
Masihkah teringat olehmu? Saat orangtua kita terlihat marah karena cara berpakaian kita yang berubah. Apalagi ketika kita mulai senang dan gemar menilai segala sesuatu dengan pandangan agama?
Dan, orangtua kita pun akhirnya memaklumi. Sebab, kita masih berdarah muda. Suka dengan hal-hal baru dan menantang.
Masihkah pula engkau teringat? Saat nama-nama kita dipanggil dalam sebuah dewan guru. Karena kita terlambat masuk kelas demi menegakkan shalat zhuhur berjama’ah?
Dan, akhirnya kita pun menang. Sebab, sebagian guru pun mendukung. Sekali lagi, sebab kita masih muda. Semangat dan sikap idealis kita begitu tinggi.

Kawan…
Masihkah engkau seperti yang dulu? Bersemangat membara untuk fokus belajar ilmu-ilmu agama?

Kawan…
Engkau begitu cerdas. Daripada menghafal rumus dan aksioma dalam ilmu matematika, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal ayat-ayat suci al-Qur’an? Aku yakin engkau pasti bisa menjadi seorang penghafal al-Qur’an.

Engkau sungguh pintar. Daripada menghafal nama-nama latin tumbuhan lengkap dengan ordo dan familinya, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam lengkap dengan  sanadnya? Aku yakin engkau pasti bisa menjadi seorang penghafal hadits.
Engkau benar-benar pandai. Daripada engkau menghafal vocabulary dan rumus-rumus tense dalam Bahasa Inggris, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal mufrodat Bahasa Arab dan menguasai tata Bahasa Arab? Aku yakin engkau dapat menjadi seorang ahli nahwu dan sharaf.

Engkau memiliki kekuatan mengingat yang tinggi. Daripada engkau menghafal tahun dan peristiwa yang terjadi dalam lintasan sejarah romawi dan daratan eropa, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal tahun dan peristiwa yang terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam? Aku yakin engkau mampu menjadi seorang ahli tentang sejarah Islam.

Kawan…
Dengan kemampuan, kecerdasan dan kemauan juga tentu dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, aku yakin engkau bias menjadi seorang pembimbing agama.

Namun…

Dimana engkau sekarang?

Kemana engkau pergi?

Apalagi yang sedang engkau kejar?

Kawan…
Sedih rasanya saat mendengar tentangmu kini. Cahaya ilmu di wajahmu telah tertukar dengan gelapnya dosa. Sujud dan rukukmu yang lalu telah berubah menjadi langkah-langkah cela. Doa dan dzikirmu telah berganti nada dan lagu.

Engkau bukan yang dahulu lagi.

Kawan…
Sepucuk surat ini aku rangkaikan untukmu. Moga-moga engkau teringat kembali akan tekad dan cita-citamu untuk menjadi seorang ‘ulama, penerang umat manusia.

Sungguh, do’aku selalu ada untukmu.


Disalin dari:
Pemuda di Warna-warni. Tholabul ‘Ilmy, karya Al Ustadz Abu Nashim Mukhtar “Iben” Rifai La Firlaz.

[mahasiswa]