cahayaislami99.blogspot.com |
Ali bin Abi Thalib.
DALAM hidup kita selalu memiliki orang-orang yang dicintai. Kita mencintai pasangan kita, keluarga kita, dan teman-teman kita. Sedemikian tinggi kecintaan itu hingga jika suatu saat ketika mereka meninggalkan, terasa kesedihan yang mendalam.
Demikian pula halnya dengan kebencian. Biasanya kita juga memiliki orang-orang yang dibenci baik karena kelakuannya, hubungan yang tidak baik di masa lalu, maupun karena berbagai hal lainnya. Terkadang sedemikian besar kebencian tersebut sehingga seseorang merasa senang jika orang yang dibencinya mendapatkan musibah.
Kembali kepada ucapan Ali di atas, ia mengajarkan untuk bersikap di tengah-tengah ketika mencintai maupun membenci. Boleh jadi kita mencintai seseorang namun suatu saat berbalik arah menjadi benci. Atau sebaliknya membenci seseorang yang suatu saat kita cintai. Manusia boleh bercita-cita, tapi tetap masa depan adalah sesuatu yang ghaib dari pengetahuannya.
Berbicara dalam konteks yang lebih luas, mencintai dan membenci ini akan berlaku pula untuk banyak hal lain dalam kehidupan. Kita mencintai harta yang susah payah dikumpulkan, kita mencintai kendaraan yang dibanggakan, kita juga mencintai anak-anak sebagai penerus keturunan. Bagaimana jika suatu saat apa-apa yang kita cintai diambil kembali oleh Sang Pemilik? Akankah kita berduka karenanya atau tetap tersenyum dan melepas dengan penuh kerelaan?
Manusia tidak pernah tahu apa yang terbaik bagi dirinya sebelum Allah membukakan rahasia tersebut bagi pribadi masing-masing orang. Seringkali kita merasa sesuatu itu baik padahal mungkin buruk. Dan sebaliknya kita merasa sesuatu itu buruk padahal sebenarnya baik buat diri kita. Baik dan buruk seringkali diukur oleh syahwat dan hawa nafsu kita. Apa yang kita anggap baik karena menyenangkan dan apa yang kita anggap buruk karena menyulitkan.
Baik dan buruk seringkali diukur oleh syahwat dan hawa nafsu kita.
Apa yang kita anggap baik karena menyenangkan dan apa yang kita anggap
buruk karena menyulitkan.
Disinilah agama mengajarkan untuk mengambil sikap yang
ditengah-tengah. Kita mencintai sesuatu karena mungkin belum mengetahui
keburukan di dalamnya. Dan kita membenci sesuatu karena mungkin belum
mengetahui kebaikan di dalamnya.Jika ditelusuri lebih jauh, apa yang dihadirkan pada diri seseorang, baik dan buruk, suka dan duka, cinta dan benci, sejatinya semua berasal dari sumber yang satu. Semuanya adalah tamu yang Allah hadirkan dalam kehidupan. Jika semua yang hadir adalah tamu-Nya, maka sewajarnya diperlakukan dengan layak dan hormat sebagaimana kita menyambut tamu dalam kehidupan sehari-hari. Buat orang-orang yang tercerahkan, sesuatu yang menyenangkan maupun sesuatu yang tidak menyenangkan pada dasarnya sama saja. Hal tersebut tidak akan membuat mereka terlalu bersukaria ataupun terlalu berduka atas kedatangan maupun kepergiannya.
Karenanya, jika menghadapi hari-hari yang tidak enak, situasi yang membuat jengkel, sikap orang yang tidak pada tempatnya, jangan buru-buru menyalahkan siapa-siapa. Sebab boleh jadi itu adalah “tamu” yang harus diterima dan dilayani. Demikian pula jika menjalani hari-hari yang nyaman, kemudahan demi kemudahan, jangan pula cepat terlena. Sebab boleh jadi itu juga “tamu” yang datang untuk menguji.
Semoga Allah mengajarkan kita untuk mencintai dan membenci sesuatu dengan tepat.
Sebagai penutup, mari perhatikan ayat Al-Qur’an surat Al Hadiid [57] ayat 22-23 berikut:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu (nafs) sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Oleh: Muhammad Noer
[islampos]
Post a Comment
Silahkan berkomentar..:)