MENCARI rezeki merupakan tuntutan kehidupan yang tak mungkin seseorang
menghindar darinya. Seorang muslim tidak melihatnya sekadar sebagai
tuntutan kehidupan. Namun ia mengetahui bahwa itu juga merupakan
tuntutan agamanya, dalam rangka menaati perintah Allah untuk memberikan
kecukupan dan ma’isyah kepada diri dan keluarganya, atau siapa saja yang
berada di bawah tanggung jawabnya.
Dari sinilah seorang muslim bertolak dalam mencari rezeki. Sehingga ia
tidak sembarangan dan tanpa peduli dalam mencari rezeki. Tidak pula
bersikap materialistis atau ‘Yang penting kebutuhan tercukupi’, ‘Yang
penting perut kenyang’ tanpa peduli halal dan haram. Atau bahkan lebih
parah dari itu ia katakan seperti kata sebagian orang, ‘Yang haram saja
susah, apalagi yang halal’.
Sekali-kali tidak! Itu adalah ucapan orang yang tidak beriman. Bahkan
yang halal insya Allah jauh lebih mudah untuk didapatkan daripada yang
haram. Dengan demikian sebagai seorang muslim yang taat, ia akan
memerhatikan rambu-rambu agamanya sehingga ia akan memilah antara yang
halal dan yang haram. Ia tidak akan menyuapi dirinya, istri dan
anak-anaknya kecuali dengan suapan yang halal. Terlebih di zaman seperti
yang disifati oleh Nabi :
“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli
apa yang dia ambil, apakah dari hasil yang halal atau yang haram.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan An-Nasa’i dari hadits Abu Hurairah , Shahih
At-Targhib no. 1722)
Suapan yang haram tak lain kecuali akan menyebabkan pemakannya
terhalangi dari surga. Diriwayatkan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq, dari Nabi
, beliau bersabda:
“Tidak akan masuk ke dalam surga sebuah jasad yang diberi makan dengan
yang haram.” (Shahih Lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani
dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan.
Shahih At-Targhib 2/150 no. 1730)
Oleh karenanya, istri para as-salaf ash-shalih (para pendahulu kita yang
baik) bila suaminya keluar dari rumahnya, iapun berpesan: “Jauhi olehmu
penghasilan yang haram, karena kami mampu bersabar atas rasa lapar tapi
kami tak mampu bersabar atas neraka.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin)
Tentu mencari yang halal merupakan kewajiban atas setiap muslim,
sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mukhtashar
Minhajul Qashidin: “Ketahuilah bahwa mencari yang halal adalah fardhu
atas tiap muslim.” Karena demikianlah perintah Allah dalam
ayat-ayat-Nya dan perintah Rasul n dalam hadits-haditsnya. Di antaranya:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan;
karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
(Al-Baqarah: 168)
As-Sa’di t menafsirkan: “Ini adalah pembicaraan yang ditujukan kepada
manusia seluruhnya mukmin maupun kafir, bahwa Allah memberikan
karunia-Nya kepada mereka yaitu dengan Allah perintahkan mereka agar
memakan dari seluruh yang ada di muka bumi berupa biji-bijian,
buah-buahan, dan hewan-hewan selama keadaannya halal. Yakni, dibolehkan
bagi kalian untuk memakannya, bukan dengan cara merampok, mencuri, atau
dengan cara transaksi yang haram, atau cara haram yang lain, atau untuk
membantu yang haram.” (Tafsir As-Sa’di)
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya.” (Al-Ma’idah: 88)
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya
saja menyembah.” (An-Nahl: 114)
“Hai rasul-rasul, makanlah dari ath-thayyibaat, dan kerjakanlah amal
yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(Al-Mu’minun: 51)
Ath-Thayyibaat artinya adalah yang halal. Allah l perintahkan untuk memakan yang halal sebelum beramal.
Di samping perintah untuk mencari yang halal, Allah dan Nabi-Nya
melarang dan memperingatkan kita dari penghasilan yang haram. Allah
berfirman:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(Al-Baqarah: 188)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah , Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik, dan
sungguh Allah perintahkan mukminin dengan apa yang Allah l perintahkan
kepada para Rasul, maka Allah berfirman: ‘Hai rasul-rasul, makanlah
dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’ dan berfirman:
‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik
yang Kami berikan kepadamu.’ Lalu Nabi n menyebutkan seseorang yang
melakukan perjalanan panjang, rambutnya kusut masai, tubuhnya berdebu,
ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berucap: ‘Wahai Rabbku,
wahai Rabbku.’ Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, disuapi gizi yang haram, bagaimana mungkin doanya
terkabul?” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi)
Dari Abdullah bin Amr , bahwa Rasulullah n bersabda:
“Empat perkara bila keempatnya ada padamu maka tidak mengapa apa yang
terlewatkanmu dari perkara duniawi: menjaga amanah, ucapan yang jujur,
akhlak yang baik, dan menjaga (kehalalan) makanan.” (Shahih, HR. Ahmad
dan Ath-Thabarani dan sanad keduanya hasan, Shahih At-Targhib no. 1718)
Ath-Thabarani t juga meriwayatkan dari Abu Thufail dengan lafadz:
“Barangsiapa mendapatkan harta yang haram lalu ia membebaskan budak
darinya dan menyambung silaturrahmi dengannya maka itu tetap menjadi
beban atasnya.” (Hasan lighairihi. Shahih Targhib, 2/148 no. 1720)
Dari Al-Qasim bin Mukhaimirah ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa mendapatkan harta dengan cara yang berdosa lalu dengannya
ia menyambung silaturrahmi atau bersedekah dengannya atau
menginfakkannya di jalan Allah, ia lakukan itu semuanya maka ia akan
dilemparkan dengan sebab itu ke neraka jahannam.” (Hasan lighairihi, HR.
Abu Dawud dalam kitab Al-Marasiil, lihat Shahih At-Targhib, 2/148 no.
1721)
Abdullah bin Mas’ud juga pernah menyampaikan pesan Rasulullah :
“Hendaklah kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Kami (para
sahabat) berkata: “Wahai Nabiyullah, kami punya rasa malu kepada Allah,
alhamdulillah.” Beliau berkata: “Bukan itu, akan tetapi malu kepada
Allah dengan sebenar-benarnya adalah kamu jaga kepala dan apa yang
diliputinya (yakni lisan, mata, telinga), kamu jaga (isi) perutmu (yakni
dari yang haram) dan jaga yang bersambung dengannya, kamu ingat
kematian dan kehancuran. Barangsiapa yang menghendaki akhirat tentu dia
tinggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang melakukan itu semua, berarti
dia telah malu dari Allah dengan sebenar-benarnya.” (Hasan lighairihi,
HR. At-Tirmidzi, Shahih At-Targhib: 2/149 no. 1724).
(oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi. Asy-Syariah)
[]
(oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi. Asy-Syariah)
[]